Blogger Jateng

Dampak Siswa Indonesia yang Menghadiri Sekolah Internasional

Dampak Siswa Indonesia yang Menghadiri Sekolah Internasional. Menggunakan bahasa negara asing sebagai bahasa utama di sekolah adalah sebuah keistimewaan. Bahasa Inggris digunakan di banyak negara meskipun bukan bahasa dari negara asalnya. Di Indonesia, hampir semua sekolah internasional menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa dominan, terutama saat sekolah mengadopsi kurikulum internasional seperti International Baccalaureate, A-levels, dll. Pada dasarnya, semua mata pelajaran diajarkan dalam bahasa Inggris kecuali mata pelajaran kewarganegaraan atau bahasa ibu yang berbeda dari sekolah-sekolah nasional di mana mereka diajarkan sepenuhnya dalam bahasa Indonesia. Namun, belajar di sekolah internasional tidak hanya berbeda dalam bahasa tetapi juga dalam ekonomi dan kelompok sosial siswa. Oleh karena itu, pengembangan kurikulum internasional di Indonesia memberikan peluang lebih tinggi bagi siswa namun juga dapat menimbulkan pertanyaan tentang identitas mereka.
Dampak Siswa Indonesia yang Menghadiri Sekolah Internasional

Dampak Siswa Indonesia yang Menghadiri Sekolah Internasional

Mengembangkan kurikulum internasional di Indonesia menciptakan komunitas siswa yang bilingual. Akibatnya, fenomena sosiolinguistik muncul yang dikenal sebagai "Bahasa Jakarta Selatan," yang digunakan untuk menunjukkan individu yang menggabungkan kedua bahasa Inggris dan Indonesia dalam percakapan sehari-hari mereka (Rusydah, 2020). Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang menghadiri sekolah internasional. Namun, banyak siswa yang lahir dan dibesarkan di Indonesia percaya bahwa mereka lebih lancar dalam bahasa Inggris, bahasa kedua mereka, daripada bahasa ibu mereka seiring bertambahnya usia karena bahasa Inggris menjadi bahasa utama yang digunakan di sekolah. Sebuah studi yang dilakukan tentang penggunaan bahasa, sikap terhadap bahasa, dan identitas menunjukkan bahwa siswa dari sekolah internasional lebih nyaman menulis dan berbicara dalam bahasa Inggris meskipun hal ini bergantung pada dengan siapa mereka berbicara (Sukamto et al, 2021). Seorang siswa mengklaim bahwa ia memahami pesan yang disampaikan oleh ibunya dalam bahasa Indonesia, tetapi lebih memilih untuk menjawab dalam bahasa Inggris (Sukamto et al, 2021). Siswa lain menyebutkan bahwa ia berkomunikasi dengan orangtuanya dalam bahasa Indonesia tetapi berbicara dengan saudaranya dalam bahasa Inggris karena keduanya menghadiri sekolah internasional (Sukamto et al, 2021). Namun demikian, ada yang mengklaim kompeten dalam kedua bahasa atau berusaha keras untuk berbicara dalam bahasa ibu di luar kelas. Dengan demikian, lingkungan sekolah dan sosial tempat mereka menghabiskan sebagian besar waktunya menyebabkan mereka lebih menyesuaikan diri dengan penggunaan bahasa Inggris.

Di tengah dunia yang semakin terglobalisasi, memiliki kemahiran berbahasa kedua yang banyak digunakan di seluruh dunia adalah suatu keuntungan. Kemampuan berbahasa ini memungkinkan individu untuk terhubung lebih baik dengan orang dan tempat di luar negaranya. Pertama, siswa dari sekolah dengan kurikulum internasional memiliki kesempatan lebih besar untuk melamar ke universitas di luar negeri. Hal ini karena kurikulum tersebut telah memenuhi kualifikasi standar yang diakui oleh berbagai institusi pendidikan tinggi di seluruh dunia. Kedua, lingkungan yang lebih beragam memungkinkan siswa untuk belajar dan menghargai budaya serta perbedaan satu sama lain. Penelitian telah membuktikan bahwa program bilingual memberikan kinerja akademis yang lebih baik bagi siswa. Sebuah eksperimen yang dilakukan oleh Swain dan Lapkin menguji siswa imersi dan non-imersi dari kelas satu hingga delapan selama sembilan tahun. Siswa bilingual diajarkan dalam bahasa kedua mereka, bahasa Prancis, tetapi diuji dalam bahasa pertama mereka, bahasa Inggris. Hasilnya menunjukkan bahwa siswa program imersi atau pendidikan bilingual menunjukkan hasil yang lebih baik saat diuji dalam bahasa Prancis dibandingkan dengan rekan-rekan mereka meskipun program tersebut sepenuhnya dalam bahasa Prancis (Santoso, 2006). Meskipun demikian, ada beberapa hambatan yang harus dipertimbangkan ketika menghadiri sekolah internasional.

Sayangnya, siswa yang menghadiri sekolah internasional mungkin memiliki persepsi negatif dari komunitas lokal karena beberapa orang mempertanyakan identitas mereka dan hambatan ekonomi. Pertama-tama, sekolah internasional di Indonesia cenderung memiliki biaya sekolah yang jauh lebih mahal dibandingkan dengan sekolah negeri di mana harga dapat bervariasi tergantung pada pendapatan orang tua. Dengan demikian, hanya kelas menengah ke atas atau ekspatriat yang mampu membiayai anak mereka menghadiri sekolah internasional. Selain itu, sekolah lebih selektif dalam memutuskan siswa yang kemungkinan besar akan menjadi pencapaian tinggi dengan dukungan orang tua. Oleh karena itu, ini lebih mendukung poin kedua di mana siswa sekolah internasional sering kali disebut sebagai "pura-pura" atau kurang memiliki identitas nasional. Banyak orang Indonesia percaya bahwa siswa sekolah internasional kurang mengetahui sejarah, nilai, dan budaya Indonesia. Stereotip ini berasal dari siswa sekolah internasional yang tampaknya lebih lancar dalam bahasa Inggris dan sangat dipengaruhi oleh media barat. Akibat dari label-label ini, siswa mungkin mengalami krisis identitas karena lingkungan sosial seorang anak sangat memengaruhi rasa identitas dan keinginan untuk merasa termasuk (Tanu, 1999).
Untuk merangkum, menghadiri sekolah internasional tentu memiliki manfaatnya terutama jika siswa ingin lebih terhubung dengan orang, tempat, dan lembaga di luar negaranya. Namun, penting untuk dicatat bahwa sekolah internasional tidak untuk semua orang karena mereka lebih selektif dan memiliki biaya yang lebih tinggi. Keistimewaan ini menciptakan batas antara komunitas lokal di mana siswa sekolah internasional sering kali distereotipkan tidak mengenal pengetahuan dasar mengenai identitas nasional mereka. Mengingat analisis positif dan negatif dari menghadiri sekolah internasional, keputusan terletak pada preferensi masing-masing individu."

Kesimpulan Dampak Siswa Indonesia yang Menghadiri Sekolah Internasional

Kehadiran sekolah internasional di Indonesia telah membawa sejumlah perubahan signifikan. Penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar telah menciptakan komunitas siswa yang bilingual, menghasilkan fenomena sosiolinguistik seperti "Bahasa Jakarta Selatan." Siswa-siswa ini sering menemukan bahwa mereka lebih nyaman berkomunikasi dalam bahasa Inggris, bahkan dalam situasi yang seharusnya memunculkan penggunaan bahasa Indonesia.
Di sisi positif, menghadiri sekolah internasional memberikan keunggulan kepada siswa dalam meraih kesempatan untuk melanjutkan studi ke perguruan tinggi di luar negeri. Kurikulum internasional juga membuka jendela lebih lebar terhadap pemahaman budaya dan perbedaan, serta telah terbukti meningkatkan prestasi akademis siswa.
Namun, ada beberapa masalah yang muncul. Biaya sekolah yang mahal membuat hanya segelintir orang mampu mengakses pendidikan di sekolah internasional, menyebabkan stereotip negatif terhadap siswa-siswa ini. Mereka dianggap kurang mengenal identitas dan nilai-nilai budaya lokal, menciptakan krisis identitas pada sebagian siswa.
Dengan demikian, keputusan untuk menghadiri sekolah internasional merupakan pilihan yang kompleks. Meskipun memiliki keuntungan besar dalam memperluas wawasan global, penting juga untuk mempertimbangkan hambatan dan stereotip yang mungkin dihadapi oleh siswa yang mengambil jalur pendidikan ini.

"Referensi

Santoso, T., 2006. Manfaat pendidikan bilingual dan aplikasinya di Indonesia. Jurnal Pendidikan Penabur, 5(6), hal. 42-45.
Sukamto, K.E., Nicolau, M.F.S., Rani, K.R.V. dan Sugiyanta, S. (2021). Penggunaan bahasa, sikap terhadap bahasa, dan identitas: Persepsi siswa SMA yang menghadiri sekolah internasional di Jakarta. Studi dalam Bahasa Inggris dan Pendidikan, 8(1), hal. 381–396.
Tanu, D. (2016). Membongkar 'Anak Budaya Ketiga': Kehidupan transnasional para pemuda di sebuah sekolah internasional di Indonesia. Jurnal Penelitian Pendidikan Internasional, [online] 15(3), hal. 275–276. https://api.research-repository.uwa.edu.au/portalfiles/portal/5361106/Tanu_Danau_2013.pdf"