BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hukum adat merupakan sistem hukum yang dikenal dalam lingkungan kehidupan sosial di Indonesia dan negara-negara Asia lainnya seperti Jepang, India, dan Tiongkok. Hukum adat adalah hukum asli bangsa Indonesia. Sumbernya adalah peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Karena peraturan-peraturan ini tidak tertulis dan tumbuh kembang, maka hukum adat memiliki kemampuan menyesuaikan diri dan elastis.
Selain itu dikenal pula masyarakat hukum adat yaitu sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Hukum adalah peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah. Hukum dapat menjadi sebuah panduan atau pedoman dalam bermasyarakat juga didampingi oleh penegak hukum. Dapat dikatakan bahwa antara hukum dan penegak hukum adalah suatu kesatuan yang cukup menetukan suatu ketertiban dalam masyarakat. Keadaan harmonis antara hukum yang telah disepakati dan penegak hukum menjadi bagian penting, agar tidak terjadi ketimpangan.
Salah satu masyarakat di Indonesia yang masih terus bertahan dengan budaya dan aturan-aturan adat mereka adalah Suku Baduy. Baduy adalah suatu kelompok masyarakat adat Sunda di wilayah Kabupaten Lebak, Banten. Masyarakat baduy merupakan komunitas adat yang mengisolasikan diri dari modernisasi dengan memegang teguh norma dan nilai Budayanya. Meski begitu suku Baduy tetap merupakan warga negara yang berhak memperoleh berbagai jaminan dari pemerintah.
1.2 Rumusan Masalah
1. Aspek kehidupan suku baduy apa saja dalam menjalankan kegiatannya dengan hukum adat yang berlaku?
2. Dampak apa yang terjadi saat mereka melanggar hukum adat ?
1.3 Tujuan
1. Untuk
2. Untuk
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Profil Suku Baduy
Masyarakat baduy merupakan sebuah suku yang berada di wilayah barat pulau Jawa, tepatnya di Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak Provinsi Banten. Banyak cerita konon orang Baduy adalah keturunan orang papajaran yang berasal dari para senapati dan punggawa setia raja yang melarikan diri pada abad ke- XII. Sebutan “Baduy” merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau “orang Kanekes” sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo.
Sebutan Baduy muncul sesudah agama Islam masuk ke daerah Banten utara pada abad ke-16, sekitar tahun 1522-1526. Judistira Garna, memaparkan orang baduy sebagai berikut: “Kesetiaan orang Baduy kepada agama yang diwarisi secara turun temurun dari nenek moyangnya seperti keadaan sebelum Hindu dan Islam berkembang di Jawa Barat serta letak desanya yang tak mudah dicapai orang seolah-olah memperkuat angggapan bahwa orang Baduy itu bukan orang Sunda”. Blume pernah menulis bahwa masyarakat Baduy berasal dari Kerajaan Sunda Kuno, yakni Pajajaran, yang bersembunyi ketika kerajaan Pajajaran runtuh pada awal abad ke-17, dan sejalan pesatnya kemajuan kerajaan Banten Islam.
Menurut Saleh Danasasmita dan Anis Djatisunda, Baduy adalah masyarakat setempat yang dijadikan mandala (kawasan suci) secara resmi oleh raja, sebab masyarakatnya berkewajiban memelihara kabuyutan, tempat pemujaan nenek moyang, bukan Hindu atau Budha. Kabuyutan di Desa Kanekes dikenal dengan kabuyutan Jati Sunda atau Sunda Wiwitan. Dari sinilah, masyarakat Baduy sendiri menyebut agamanya adalah Sunda Wiwitan, Sunda Pertama.Hal itu menjelaskan juga bahwa asal usul Baduy secara tepat bisa ditemukan di dalam diri masyarakat Baduy sendiri yang kukuh melestarikan alam lindung pegunungan Kendeng sebelum ekspedisi Islam datang mengubah kepercayaan mereka.
Orang Kanekes (Masyarakat Baduy) masih memiliki hubungan sejarah dengan orang Sunda. Penampilan fisik dan bahasa mereka mirip dengan orang-orang Sunda pada umumnya, satu-satunya perbedaan adalah kepercayaan dan cara hidup mereka. Orang Kanekes menutup diri dari pengaruh dunia luar dan secara ketat menjaga cara hidup mereka yang tradisional, sedangkan orang Sunda lebih terbuka kepada pengaruh asing dan mayoritas memeluk Islam.
A. Klasifikasi Masyarakat Baduy
Masyarakat Kanekes (Baduy) secara umum terbagi menjadi tiga kelompok yaitu tangtu, panamping, dan dangka.
1. Orang Baduy dalam
Kelompok tangtu adalah kelompok yang dikenal sebagai Kanekes Dalam (Baduy Dalam), yang paling ketat mengikuti adat, yaitu warga yang tinggal di tiga kampung: Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik. Ciri khas Orang Kanekes Dalam adalah pakaiannya berwarna putih alami dan biru tua serta memakai ikat kepala putih. Para pria memakai baju lengan panjang yang disebut jamang sangsang, Potongannya tidak memakai kerah, tidak pakai kancing dan tidak memakai kantong baju. Untuk bagian bawahnya menggunakan kain serupa sarung warna biru kehitaman, yang hanya dililitkan pada bagian pinggang. Serta pada bagian kepala suku baduy menggunakan ikat kepala berwarna putih.
Sedangkan untuk busana yang dipakai di kalangan wanita Baduy dalam maupun Baduy Luar tidak terlalu menampakkan perbedaan yang mencolok. Mereka mengenakan busana semacam sarung warna biru kehitam-hitaman dari tumit sampai dada. Bagi wanita yang sudah menikah, biasanya membiarkan dadanya terbuka secara bebas, sedangkan bagi para gadis buah dadanya harus tertutup.
Mereka dilarang secara adat untuk bertemu dengan orang asing.
Kanekes Dalam adalah bagian dari keseluruhan orang Kanekes. Tidak seperti Kanekes Luar, warga Kanekes Dalam masih memegang teguh adat-istiadat nenek moyang mereka. Sebagian peraturan yang dianut oleh suku Kanekes Dalam antara lain:
Kanekes Dalam adalah bagian dari keseluruhan orang Kanekes. Tidak seperti Kanekes Luar, warga Kanekes Dalam masih memegang teguh adat-istiadat nenek moyang mereka. Sebagian peraturan yang dianut oleh suku Kanekes Dalam antara lain:
· Tidak diperkenankan menggunakan kendaraan untuk sarana transportasi
· Tidak diperkenankan menggunakan alas kaki
· Pintu rumah harus menghadap ke utara/selatan (kecuali rumah sang Pu’un atau ketua adat)
· Larangan menggunakan alat elektronik (teknologi)
· Menggunakan kain berwarna hitam/putih sebagai pakaian yang ditenun dan dijahit sendiri serta tidak diperbolehkan menggunakan pakaian modern.
2. Orang Baduy luar
Orang Kanekes Luar (Baduy Luar), yang tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi wilayah Kanekes Dalam, seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya. Masyarakat Kanekes Luar berciri khas mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam.Busana yang para pria pakai adalah baju kampret berwarna hitam. Ikat kepalanya juga berwarna biru tua dengan corak batik. Terlihat dari warna, model ataupun corak busana Baduy Luar, menunjukan bahwa kehidupan mereka sudah terpengaruh oleh budaya luar.
Kanekes Luar merupakan orang-orang yang telah keluar dari adat dan wilayah Kanekes Dalam. Ada beberapa hal yang menyebabkan dikeluarkannya warga Kanekes Dalam ke Kanekes Luar:
· Mereka telah melanggar adat masyarakat Kanekes Dalam
· Berkeinginan untuk keluar dari Kanekes Dalam
· Menikah dengan anggota Kanekes Luar
Ciri-ciri masyarakat orang Kanekes Luar:
· Mereka telah mengenal teknologi, seperti peralatan elektronik.
· Proses pembangunan rumah penduduk Kanekes Luar telah menggunakan alat-alat bantu, seperti gergaji, palu, paku, dll, yang sebelumnya dilarang oleh adat Kanekes Dalam.
· Menggunakan pakaian adat dengan warna hitam atau biru tua (untuk laki-laki), yang menandakan bahwa mereka tidak suci. Kadang menggunakan pakaian modern seperti kaos oblong dan celana jeans.
· Menggunakan peralatan rumah tangga modern, seperti kasur, bantal, piring/ gelas kaca dan plastik.
· Mereka tinggal di luar wilayah Kanekes Dalam.
· Tak sedikit diantara mereka yang telah terpengaruh ajaran salah satu dari agama yang diakui pemerintah Indonesia.
3. Baduy Dangka
Baduy Dangka adalah mereka yang sudah benar-benar keluar dari suku Baduy, baik secara geografis maupun secara adat istiadat. Mereka merupakan keturunan suku Baduy Dalam atau luar, namun umumnya sudah tidak tinggal di wilayah Kanekes.
Apabila Kanekes Dalam dan Kanekes Luar tinggal di wilayah Kanekes, maka “Kanekes Dangka” tinggal di luar wilayah Kanekes, dan pada saat ini tinggal 2 kampung yang tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam). Kampung Dangka tersebut berfungsi sebagai semacam buffer zone atas pengaruh dari luar.
2.2 Hukum Adat Leluhur Baduy
Gunung tak diperkenankan dilebur
Lembah tak diperkenankan dirusak
Larangan tak boleh di rubah
Panjang tak boleh dipotong
Pendek tak boleh disambung
yang bukan harus ditolak yang jangan harus dilarang
yang benar haruslah dibenarkan
Masyarakat Baduy sejak dahulu memang selalu berpegang teguh kepada seluruh ketentuan maupun aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Pu’un (Kepala Adat). Kepatuhan kepada ketentuan-ketentuan tersebut menjadi pegangan mutlak untuk menjalani kehidupan bersama. Selain itu, didorong oleh keyakinan yang kuat, hampir keseluruhan masyarakat Baduy Luar maupun Baduy Dalam tidak pernah ada yang menentang atau menolak aturan yang diterapkan sang Pu’un. Dengan menjalani kehidupan sesuai adat dan aturan yang ditetapkan oleh Kepala Adat di sana, tercipta sebuah komunitas dengan tatanan masyarakat yang amat damai dan sejahtera. Di masyarakat Baduy, tidak ada orang kaya, namun tidak ada orang miskin. Kehidupan mereka sama seperti layaknya kehidupan masyarakat lainnya, hanya saja yang membedakannya adalah begitu banyak aturan tradisional yang terkesan kolot yang harus mereka patuhi. Berikut sekelumit goresan perjalanan tentang beberapa aturan adat Orang Baduy.
1. Bulan Puasa/Kawalu
Upacara Kawalu, yaitu upacara yang dilakukan dalam rangka menyambut bulan kawalu yang dianggap suci dimana pada bulan kawalu masyarakat baduy melaksanakan ibadah puasa selama 3 bulan yaitu bulan Kasa, Karo, dan Katiga.
Saat Kawalu, orang dari luar komunitas Baduy Dalam dilarang keras memasuki wilayah mereka, terutama karena saat kunjungan bukan bulan puasa (Ramadhan) seperti yang dilakukan oleh umat Islam. Juga di hari Sabtu, bukan Senin atau Kamis yang disunah-kan bagi umat Islam untuk melakukan puasa. Inilah salah satu ketentuan adat Baduy Dalam, mereka harus menjalani puasa yang mereka disebut “Kawalu” dan jatuh bulannya adalah di Bulan yang diwajibkan puasa. Di saat Kawalu, ada banyak kegiatan adat dan tidak ada kegiatan lain. Semua kegiatan yang dilakukan difokuskan kepada prosesi Kawalu. Pada bulan ini mereka tidak diperbolehkan membetulkan rumah atau selamatan-selamatan melainkan mempersiapkan penyambutan datangnya hari besar bagi masyarakat Baduy yang disebut Seba, berakhirnya masa Kawalu. Satu-satunya kegiatan utama sebagai pesiapan yang mereka lakukan adalah mengumpulkan hasil panen padi dari ladang-ladang mereka dan menumbuknya menjadi beras. Dalam satu tahun masyarakat Baduy melaksanakan puasa selama 3 bulan berturut-turut sesuai dengan amanah adat-nya.
2. Ngalaksa
Upacara ngalaksa, yaitu upacara besar yang dilakukan sebagai uacapan syukur atas terlewatinya bulan-bulan kawalu, setelah melaksanakan puasa selama 3 bulan. Ngalaksa atau yang bsering disebut lebaran.
3. Pernikahan
Di dalam proses pernikahan yang dilakukan oleh masyarakat Baduy hampir serupa dengan masyarakat lainnya. Namun, pasangan yang akan menikah selalu dilakukan berdasarkan perjodohan dan dilakukan oleh dukun atau kokolot menurut lembaga adat (Tangkesan) sedangkan Naib sebagai penghulunya, serta tidak ada yang namanya pacaran. Orang tua laki-laki akan bersilaturahmi kepada orang tua perempuan dan memperkenalkan kedua anak mereka masing-masing.
Setelah mendapatkan kesepakatan, kemudian dilanjutkan dengan proses 3 kali pelamaran. Tahap Pertama, orang tua laki-laki harus melapor ke Jaro (Kepala Kampung) dengan membawa daun sirih, buah pinang dan gambir secukupnya. Tahap kedua, selain membawa sirih, pinang, dan gambir, pelamaran kali ini dilengkapi dengan cincin yang terbuat dari baja putih sebagai mas kawinnya. Tahap ketiga, mempersiapkan alat-alat kebutuhan rumah tangga, baju serta seserahan pernikahan untuk pihak perempuan. Pelaksanaan akad nikah dan resepsi dilakukan di Balai Adat yang dipimpin langsung oleh Pu’un untuk mensahkan pernikahan tersebut. Adapun mengenai mahar atau seserahan yakni sirih, uang semampunya, dan kain poleng. Uniknya, dalam ketentuan adat, Orang Baduy tidak mengenal poligami dan perceraian. Mereka hanya diperbolehkan untuk menikah kembali jika salah satu dari mereka telah meninggal.
4. Seba, yaitu berkunjung ke pemerintahan daerah atau pusat yang bertujuan merapatkan tali silaturahmi antara masyarakat baduy dengan pemerintah, dan merupakan bentuk penghargaan dari masyarakat baduy.
5. Upacara menanam padi, dilakukan dengan diiringi angklung buhun sebagai penghormatan kepada dewi sri lambing kemakmuran.
6. Kelahiran, yang dilakukan melalui urutan kegiatan, yaitu:
· Kendit yaitu upacara 7 bulanan ibu yang sedang hamil.
· Saat bayi itu lahir akan dibawa ke dukun atau paraji untiuk dijampi-jampi.
· Setelah 7 hari setelah kelahiran maka akan diadakan acara perehan atau selametan.
· Upacara Angiran yang dilakukan pada hari ke 40 setelah kelahiran.
· Akikah yaitu dilakukannya cukuran, khitanan dan pemberian nama oleh dukun(kokolot) yuang didapat dari bermimpi dengan mengorbankan ayam.
2.3 Hukum di Tatanan Masyarakat Baduy
Pada dasarnya hukum Baduy tercipta untuk menjaga keseimbangan alam dan bersikap bijak dengan alam. Seperti yang terkandung dari salah satu kalimat pedoman Baduy yakni lojor teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambung (panjang tak boleh dipotong, pendek tak boleh disambung).
Di lingkungan masyarakat Baduy, jarang sekali terjadi pelanggaran ketentuan adat oleh anggota masyarakatnya. Oleh karenanya, jarang sekali ada orang Baduy yang terkena sanksi hukuman, baik berdasarkan hukum adat maupun hukum positif (negara). Jika memang ada yang melakukan pelanggaran, pasti akan dikenakan hukuman. Seperti halnya dalam suatu negara yang ada petugas penegakkan hukum, Suku Baduy juga mempunyai bidang tersendiri yang bertugas melakukan penghukuman terhadap warga yang terkena hukuman. Hukuman disesuaikan dengan kategori pelanggaran, yaitu:
1. Hukuman Ringan
Biasanya dalam bentuk pemanggilan sipelanggar aturan oleh Pu’un untuk diberikan peringatan. Yang termasuk ke dalam jenis pelanggaran ringan antara lain cekcok atau beradu-mulut antara dua atau lebih warga Baduy.
2. Hukuman Berat
Diperuntukkan bagi mereka yang melakukan pelanggaran berat. Pelaku pelanggaran yang mendapatkan hukuman ini dipanggil oleh Jaro setempat dan diberi peringatan. Selain mendapat peringatan berat, siterhukum juga akan dimasukan ke dalam lembaga pemasyarakatan (LP) atau rumah tahanan adat selama 40 hari. Selain itu, jika hampir bebas akan ditanya kembali apakah dirinya masih mau berada di Baduy Dalam atau akan keluar dan menjadi warga Baduy Luar di hadapan para Pu’un dan Jaro. Masyarakat Baduy Luar lebih longgar dalam menerapkan aturan adat dan ketentuan Baduy.
Menariknya, yang namanya hukuman berat disini adalah jika ada seseorang warga yang sampai mengeluarkan darah setetes pun sudah dianggap berat. Berzinah dan berpakaian ala orang kota. Banyak larangan yang diatur dalam hukum adat Baduy, diantaranya tidak boleh bersekolah, dilarang memelihara ternak berkaki empat, tak dibenarkan bepergian dengan naik kendaraan, dilarang memanfaatkan alat eletronik, alat rumah tangga mewah dan beristri lebih dari satu. Selain itu adanya larangan warga untuk keluar daerah, jika dilanggar maka mereka langsung di usir.
Sebagai contoh kasus Sangsang yang jatuh dari ketinggian tujuh hingga delapan meter saat hendak mengambil daun sirih yang merambat di ujung sebuah pohon. Sangsang terbanting ke tanah dengan posisi telentang dan muka menengadah ke langit. Sangsang terluka parah di bagian belakang tubuhnya. Dua ruas tulang ekornya rusak dan terlepas. Beberapa sarafnya putus. Benturan keras di tanah juga membuat luka menganga. Bahkan, sebagian tulang belakang dapat terlihat dari luka tersebut. Selama itu Sangsang hanya menggunakan obat-obatan tradisional. Sementara luka luarnya terbuka, lebarnya sampai sebesar piring cangkir. Kisah Sangsang akhirnya sampai ke luar dan banyak menuai simpati. Namun, penyelamatan Sangsang terbentur adat yang melarang warga adat keluar daerah. Tim penyelamat mencoba bernegosiasi dengan Jaro (pemimpin adat Baduy) untuk menjemput Sangsang menggunakan helikopter Bolco. Namun, permintaan itu ditolak. Luka tersebut membuat Sangsang menderita sampai saat ini. Tidur pun tak nyenyak. Ia harus menahan rasa sakit setiap malam. Kabar tentang Sangsang kemudian beredar hingga keluar kampung terpencil itu. Tulang ekornya bisa dikembalikan dengan menggunakan pen baja. Saraf-saraf yang putus juga masih dimungkinkan untuk disambung. Kini Sangsang masih terbaring lemah di rumahnya. Ia tak mau melawan hukum adatnya. Ia tahu, jika menerima tawaran penanganan medis ke luar kampung, ia akan terusir dari Baduy. Dia pun hanya pasrah saja. Adat memang tidak bisa dilawan.
Rutannya Orang Baduy, atau lebih tepat disebut tahanan adat, sangat jelas berbeda dengan yang dikenal masyarakat umum di luar Baduy. Rumah Tahanan Adat Baduy bukanlah jeruji besi yang biasa digunakan untuk mengurung narapidana di kota-kota, melainkan berupa sebuah rumah Baduy biasa dan ada yang mengurus/menjaganya. Selama 40 hari sipelaku bukan dikurung atau tidak melakukan kegiatan sama sekali. Ia tetap melakukan kegiatan dan aktivitas seperti sehari-harinya, hanya saja tetap dijaga sambil diberi nasehat, pelajaran adat, dan bimbingan. Uniknya, yang namanya hukuman berat disini adalah jika ada seseorang warga yang sampai mengeluarkan darah setetes pun sudah dianggap berat. Berzinah dan berpakaian ala orang kota, sebagaimana kita berpakaian di masyarakat kota, juga termasuk pelanggaran berat yang harus diberikan hukuman berat. Masyarakat Baduy tidak pernah berkelahi sama sekali, paling hanya cekcok mulut saja. Kepatuhan dan ketaatan itu dijalani dengan biasa tanpa penolakkan apapun. Hasilnya adalah kekaguman akan dirasakan oleh semua orang yang berkunjung ke sana, mereka amat rukun, damai, dan sangat sejahtera untuk ukuran kecukupan kebutuhan hidup sehari-hari. Itulah yang kami rasakan sebagai kesimpulan dari perjalanan menyelami salah satu suku tradisional.
Perkampungan Baduy dihuni oleh komunitas yang selain kental dengan ketentuan adat, mereka juga murah senyum. Secara jujur, setiap kita enggan berpaling dari pandangan kepada sosok Orang Baduy, terutama yang tinggal di Baduy Dalam. Ternyata wajah dan tubuh Orang Baduy sangat bersih tanpa cacad dan noda, walaupun mereka mandi tidak diperbolehkan menggunakan sabun, shampoo serta sikat gigi. Seperti halnya para lelaki, wanita Baduy pun memiliki badan yang putih, bersih, jernih,tanpa noda, tanpa kudis, kurap dan cantik-cantik. Tapi sayangnya, masyarakat luar Baduy, yang bukan dari suku Baduy Dalam maupun Baduy Luar tidak diperbolehkan untuk meminang gadis Baduy.
2.4 Hukum Pidana dalam Tatanan Masyarakat Baduy
Masyarakat Kanekes mengenal dua sistem pemerintahan, yaitu sistem nasional, yang mengikuti aturan negara Indonesia, dan sistem adat yang mengikuti adat istiadat yang dipercaya masyarakat. Kedua sistem tersebut digabung atau diakulturasikan sedemikian rupa sehingga tidak terjadi benturan.
Seperti wilayah yang lain di Indonesia, setiap Desa di Kanekes dipimpin oleh kepala desa yang dalam budaya Kanekes disebut Jaro Pamarentah. Namun dalam sistem adat, seluruh masyarakat Baduy dipimpin oleh seorang pemimpin adat tertinggi yang disebut sebagai puun.
Jabatan puun tidak dibatasi oleh waktu sehingga jabatan ini ditempati oleh orang yang dianggap memiliki kharisma tinggi sebagai pemimpin serta orang harus memiliki kemampuan untuk bertahan selama mungkin dalam jabatan tersebut. Dibawah puun ada Jaro, yang mana dalam sistem modern disebut sebagai ceksi pedesaan yang berhubungan dengan wilayah tertentu.
Jadi sebenarnya kepala desa dalam sistem nasional yang disebut jaro pamarentah dalam sistem Baduy adalah bawahan puun, secara tidak langsung. Oleh karena itu jika ada acara nasional, yang harus mengikuti acara tersebut bukan puun tapi jaro pamarentah atau kepala desa.
Masyarakat Baduy sejak dahulu selalu berpegang teguh kepada seluruh ketentuan maupun aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Kepala Adat. Kepatuhan kepada ketentuan-ketentuan tersebut menjadi pegangan mutlak untuk menjalani kehidupan bersama. Selain itu, didorong oleh keyakinan yang kuat, hampir keseluruhan masyarakat Baduy Luar maupun Baduy Dalam tidak pernah ada yang menentang atau menolak aturan yang diterapkan sang Kepala Adat.
Masyarakat Baduy memiliki hukum yang mengatur kehidupan mereka sehari-hari, termasuk hukum pidana adat Baduy. Hukum pidana adat Baduy tidak dikodifikasikan dalam sebuah kitab, dalam artian hukum pidana adat Baduy tidak dibuat tertulis. Untuk melestarikan pengetahuan hukum adat Baduy tersebut, maka setiap dua bulan sekali semua warga dikumpulkan di masing-masing kampung Baduy Dalam (Cibeo, Cikartawana, Cikeusik). Dalam forum tersebut diberitahukan setiap larangan yang ada di Baduy beserta ancaman hukumannya. Selain forum tersebut, pengetahuan mengenai hukum pidana adat Baduy diperoleh melalui budaya lisan/tutur dalam kehidupan sehari-hari, sehingga setiap generasi di Baduy mengenal adat hukumnya.
Sebagaimana halnya adat Baduy, hukum pidana adat Baduy juga berfilosofi pada keseimbangan alam, filosofi yang dipakai pun sama Lojor teu meunang dipotong, Pondok teu meunang disambung (panjang tak boleh dipotong, pendek tak boleh disambung). Falsafah hidup tersebut kemudian dijabarkan dalam norma-norma hukum di Baduy, termasuk norma hukum adat di Baduy.
Pada prinsipnya dalam hukum pidana adat Baduy, seorang pelaku tindak pidana harus dibersihkan lahir dan bathinnya. Pembersihan tersebut merupakan wujud dari pertanggungjawaban tindak pidana. Pembersihan lahiriah berupa pertanggujawaban pelaku pada korban yang mewujud dalam sanksi yang diterimanya. Sanksi tersebut berupa ditegor/ditegur, dipapatahan/dinasehati, silih ngahampura/saling memaafkan, ganti rugi, hingga dikeluarkan dari warga Baduy Dalam menjadi warga Baduy Luar.
Pembersihan bathiniah si pelaku diwujudkan dalam upacara ngabokoran atau serah pati. Ngabokoran adalah upacara pembersihan bathiniah atas tindak pidana yang tidak terlalu berat. Sedangkan serah pati adalah upacara pembersihan bathiniah atas tindak pidana berat. Ngabokoran dan serah pati secara integral juga merupakan pembersihan desa atas tindak pidana yang telah terjadi dengan memohonkan maaf pada leluhur dengan dipimpin oleh puun.
2.5 Tindak Pidana dalam Hukum Pidana Adat Baduy
Adapun berbagai tindak pidana yang diatur dalam hukum pidana Baduy adalah sebagai berikut:
1. Fitnah/pencemaran nama baik
Fitnah terhadap pejabat adat derajatnya lebih tinggi dibandingkan fitnah terhadap warga Baduy biasa. Fitnah pada warga biasa dapat diselesaikan antara pihak keluarga. Sedangkan fitnah terhadap pejabat adat harus diselesaikan secara hukum adat (sistem peradilan hukum adat Baduy). Hal ini disebabkan karena pejabat adat sebagai pimpinan harus dihargai bersama, karena pimpinan adat merupakan simbol adat.
2. Zina
Zina dalam Baduy dibedakan penanganannya, persidangan untuk perkara zina tidak segera dilangsungkan sebagaimana seharusnya sesuai hukum pidana formal adat Baduy. Pelaku segera dikirmkan ke ‘rutan’ selama 40 hari, proses persidangan baru dilakukan setelah masa karantina selesai. Hal ini disebabkan zina dianggap aib yang memalukan semua pihak, baik korban, pelaku maupun masyarakat Baduy.
3. Pencurian
Dalam tindak pidana pencurian, pelaku pencurian diwajibkan mengganti kerugian pihak korban dan silih ngahampura. Jika pelaku meninggal sebelum ganti rugi terjadi, maka ganti rugi diserahkan pada sabah (keluarga bapak/ibunya). Pelaku juga akan ditanya kesanggupan untuk tidak mengulangi perbuatan. Jika tidak sanggup maka pelaku akan dikeluarkan dari Baduy Dalam. Dalam tindak pidana pencurian, pelaku diwajibkan membiayai upacara ngabokoran.
4. Penipuan
Dalam tindak pidana penipuan, pada prinsipnya pertanggungjawaban pidana lebih diarahkan pada ganti rugi. Biasanya pelaku diminta membuat perjanjian untuk mengganti rugi, jika pelaku tak punya uang maka harus menjual hartanya (huma/padi). Jika pelaku tak punya harta, maka pertanggungjawaban dibebankan pada keluarga si pelaku.
5. Penganiayaan
Penganiayaan dalam hukum pidana adat Baduy dibedakan berdasakan berat dan ringannya penganiayaan. Jika penganiayaan tersebut bersifat ringan, maka cukup diselesaikan antara para pihak. Namun jika penganiayaan tersebut bersifat berat maka penyelesaiannya melibatkan sistem hukum pidana adat Baduy dengan memperhatikan asas ultimum remedium.
6. Pembunuhan
Setiap orang Baduy yang dengan sengaja melakukan tindak pembunuhan, dalam hukum pidana adat Baduy pelaku diharuskan melakukan pertobatan selama 40 kali, melakukan serah pati, dikeluarkan beserta keluarganya dari Baduy Dalam selama tujuh turunan dan tidak diikutsertakan dalam acara-acara adat.
7. Santet (julid)
Menurut Jaro Sami, julid ka papada (menyantet orang lain) adalah dosa yang sangat besar. Menurut riwayat (budaya lisan yang disampaikan turun temurun) matinya pelaku julid ka papada tidak akan diterima di akhirat. Ancaman pelaku julid ka papada sama dengan pelaku incest, ditalian dibalangkeun ka laut (diikat dilemparkan ke laut).
8. Sengketa Tanah
Sengketa tanah merupakan hal yang sering terjadi di Baduy, hal ini disebabkan karena lahan garapan di Baduy berlangsung turun temurun pada masing-masing keluarga sehingga tak jarang terjadi sengketa mengenai batas-batas tanah.
Beberapa tindak pidana (Larangan) lain dalam Baduy Dalam dan Baduy Luar :
· Larangan foto dan gambar audio visual
· Larangan merokok
· Larangan menggunakan emas
· Larangan poligami dan poliandri
· Laraangan minuman alkohol
· Larangan menggunakan pakaian modern
· Larangan menggunakan alat mandi
· Larangan menggunakan kendaraan
· Larangan orang asing memasuki wilayah Baduy Dalam
· Larangan bersekolah
· Larangan mendirikan masjid
· Larangan mengolah tanah menjadi sawah
Ancaman hukuman bagi setiap orang yang melanggar ketentuan diatas bertahap mulai dari ditegor/ditegur, dipapatahan/dinasehati, hingga dikeluarkan dari komunitas Baduy Dalam. Khusus untuk larangan nomor 9, jika orang asing tersebut telah sempat masuk ke wilayah Baduy Dalam, maka wilayah Baduy Dalam tersebut harus dibersihkan dengan upacara nyapuan.
Dalam hal pernikahan (larangan nomor 4), warga Baduy dilarang memiliki istri atau suami lebih dari satu orang dalam waktu bersamaan. Bagi warga Baduy luar jika ingin menikahi perempuan lain selain istrinya maka istrinya terdahulu harus diceraikan. Sedangkan bagi Baduy Dalam pernikahan merupakan ikatan suami istri hingga Kematian yang hanya dapat memisahkan ikatan tersebut. jika salah satu pasangan telah meninggal maka dibolehkan janda atau duda tersebut menikah lagi.
2.6 Tinjauan Analisis (Asas-Asas yang Terkandung dalam Hukum Pidana Adat Baduy)
Jika kita perhatikan dari setiap aturan yang ada dalam hukum pidana adat Baduy, maka akan kita temukan beberapa asas yang terkandung didalamnya. Diantaranya:
a. Asas Ultimum Remedium
Baduy mengenal asas yang identik dengan asas ultimum remedium dan diterapkan integral dalam penyelesaian tindak pidana. Artinya jika ada suatu tindak pidana, maka penyelesaian dalam tahap keluarga sedapat mungkin dilakukan. Jika para pihak tidak puas barulah kemudian diserahkan pada sistem peradilan adat Baduy.
b. Asas Personalitas/Personal Aktif
Hukum pidana adat Baduy Dalam berlaku bagi setiap warga baduy Dalam. Jika seorang warga Baduy Dalam diketahui melakukan pelanggaran diluar wilayah Dalam, maka perbuatan tersebut harus dipertanggungjawabkandalam proses persidangan Baduy Dalam. Bahwa kemudian ada persoalan nebis in idem karena telah diproses oleh hukum negara, maka hal itu diabaikan karena masyarakat Baduy telah memiliki sistem hukum tersendiri yang pada hakikatnya si pelaku harus dibersihkan lahir dan bathinnya untuk memulihkan keseimbangan dalam masyarakat Baduy. Ketentuan asa personalitas pada warga Baduy dalam juga berlaku bagi warga Baduy Luar. Bagi warga Baduy luar yang melakukan tindak pidana diluar wilayah Baduy Luar maka diserahkan pada Jaro Dainah, kepala Desa Kanekes. Kebanyakan kemudian diserahkan pada hukum pidana nasional, namun dalam pembersihan bathinnya diserahkan pada struktur adat Baduy Dalam.
c. Asas Perlindungan/Nasional Pasif
Dalam hukum pidana adat Baduy juga mendapatkan perlindungan, sehingga bagi siapapun yang merugikan kepentingan hukum adat Baduy harus dimintakan pertanggungjawaban.
d. Asas Teritorial
Hukum pidana adat Baduy dapat dikatakan menganut asas teritorial yang bersifat quasi. Keberlakuan asas teritorial bagi warga diluar Baduy hanya pada delik-delik yang bersifat umum berlaku bagi masyarakat Baduy seperti penganiayaan, mengambil foto dll. Sementara terhadap delik yang bersifat khusus hanya berlaku bagi warga Baduy Dalam, seperti larangan mengenakan pakaian modern, alat elektronik dll.
Masyarakat baduy merupakan sebuah suku yang berada di wilayah barat pulau Jawa, tepatnya di Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak Provinsi Banten yang masih kental dengan adat istiadat tradisional dan memiliki aturan hukum yang disebut dengan Hukum Adat Baduy. Masyarakat Kanekes (Baduy) secara umum terbagi menjadi tiga kelompok yaitu tangtu, panamping, dan dangka..
Masyarakat Baduy mengenal dua sistem pemerintahan, yaitu sistem nasional, yang mengikuti aturan negara Indonesia, dan sistem adat yang mengikuti adat istiadat yang dipercaya masyarakat. Kedua sistem tersebut digabung atau diakulturasikan sedemikian rupa sehingga tidak terjadi benturan. Masyarakat Baduy juga memiliki hukum yang mengatur kehidupan mereka sehari-hari, termasuk hukum pidana adat Baduy. Hukum pidana adat Baduy tidak dikodifikasikan dalam sebuah kitab, dalam artian hukum pidana adat Baduy tidak dibuat tertulis. Dalam kasus tindak pidana, di dalam hukum pidana adat Baduy telah diatur sedemikian rupa tentang aturan hukumnya, dalam arti yang digunakan bukanlah hukum negara.
2.7 Sikap Masyarakat Terhadap Hukum Adat yang Berlaku
Masyarakat Baduy sejak dahuluselalu berpegang teguh kepada seluruh ketentuan maupun aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Kepala Adat. Kepatuhan kepada ketentuan-ketentuan tersebut menjadi pegangan mutlak untuk menjalani kehidupan bersama. Selain itu, didorong oleh keyakinan yang kuat, hampir keseluruhan masyarakat Baduy Luar maupun Baduy Dalam tidak pernah ada yang menentang atau menolak aturan yang diterapkan sang Kepala Adat. Dengan menjalani kehidupan sesuai adat dan aturan yang ditetapkan oleh Kepala Adat di sana, akan tercipta sebuah komunitas dengan tatanan masyarakat yang amat damai dan sejahtera. Mengamati kehidupan suku Baduy tampak seperti sebuah kehidupan penuh dengan keselarasan dan ketenangan.
Rumah-rumah yang mempunyai model dan gaya arsitektur yang sama, mata pencaharian atau kegiatan yang sama, dan berpakaian sama. Seperti tidak ada yang membedakan mereka, ‘tidak ada kaya miskin’ dalam kehidupan sosial ekonomi mereka. Saling percaya dan menghormati kepunyaan masing-masing. Jika mereka mempunyai uang lebih, uang terssebut mereka belikan beras atau emas.Emas mereka kenakan setiap hari, tanpa ada pandangan banyak emas banyak uang, emas hanya mereka gunakan sebagai hiasan seorang wanita. Sedangkan padi atau beras mereka simpan di leuit (gubuk tempat menyimpan padi) yang terletak di sebelah perkampungan. Tempat yang terpisah dari tempat tinggal mereka tidak membuat mereka ‘was-was’ atau kawatir jika dicuri orang, karena memang di sana tidak ada pencuri. Mereka malu melakukan perbuatan tercela dan takut melanggar hukum adat yang berlaku. Hukum adat Baduy dipatuhi oleh masyarakat Baduy, secara fisik hal-hal tersebut sangat terlihat dari hasil observasi penulis. Arsitektur dan bentuk rumah yang sama, warna pakaian Baduy dalam dan luar yang berbeda sesuai dengan aturan, dan banyak hal yang dapat dijumpai. Bahkan aturan adat yang menyatakan bahwa suku Baduy dilarang menggunakan alas kaki dan menggunakan kendaraan untuk bepergian kemanapun juga masih dipegang kuat.
Keadaan masyarakat Baduy, masyarakat mempunyai kesadaran penuh untuk menaati peraturan adat, namun selain karena rasa cinta terhadap suku Baduy alasan lain karena percaya kepada para pemerintah adat (dalam hal ini Pu’un). Pu’un dianggap orang suci, dan merupakan manusia istimewa yang adil (pilihan). Selain karena anggapan tersebut, Pu’un juga orang yang berintegritas yang artinya tidak hanya sebuah anggapan positif dari masyarakat namun juga kualitas kepu’unan yang baik. Kepu’unan yang baik tersebut memberikan sebuah anggapan dan respon positif dari masyarakat untuk mematuhi baik secara sadar maupun tidak sadar terhadap peraturan atau hukum adat mereka. Hukum Baduy tetap berlaku sampai saat ini karena hukum tersebut adalah hukum yang membawa kebaikan, meskipun perubahan dan perkembangan zaman terus berjalan. Dalam konteks masyarakat Baduy, terbukti selama ratusan tahun dapat menjaga keharmonisan hubungan baik sesama warganya ataupun terhadap alam lingkungannya. Hukum adat Baduy (termasuk didalamnya hukum pidana adat Baduy) terbukti dapat terselenggara tanpa adanya kesewenang-wenangan. Jika ada pelanggaran yang dilakukan masyarakat Baduy, sanksi adatnya telah jelas dipahami oleh masyarakat Baduy dan menerima kepastian hukum yang akan diterima sebagai konsekuensi dari pelanggaran yang dilakukan. Namun demikian, hingga saat ini belum diketahui apakah Hukum Adat pada umumnya tidak dikodifikasi (dihimpun dalam suatu atau beberapa kitab undang-undang menurut sistem tertentu). Hal ini tidak berarti tidak ada hukum adat yang ditulis atau dibuat menjadi buku. Namun sebagian besar hukum adat itu memang tidak tertulis dan tidak pula dicatat-catat. Berikut adalah beberapa larangan terlihat pada suku Baduy, antara lain:
· Dilarang membunuh orang
· Dilarang memarahi orang lain
· Dilarang menikah lebih dari satu orang
· Dilarang makan diwaktu malam
· Dilarang makan minum yang memabukan
· Dilarang berduaan berlainan jenis
· Dilarang berjinah
· Dilarang mencuri
· Dilarang berbohong
· Dilarang melanggar adat
· Dilarang meminta-minta atau mengemis
· Dilarang menyiksa binatang, dsb.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Suku baduy sangat tertutup dengan dunia luar, terdapat banyak sekali larangan di dalam nya yang akan berakibat fatal apabila dilanggar. Seperti hal nya Kasus Sangsang yang pasrah dengan keselamatan nyawanya daripada harus melanggar Adat. Larangan lain di antaranya tidak boleh bersekolah, dilarang memelihara ternak berkaki empat, tak dibenarkan bepergian dengan naik kendaraan, dilarang memanfaatkan alat eletronik, alat rumah tangga mewah dan beristri lebih dari satu.Tentu saja tradisi seperti itu sangat membelenggu masyarakatnya, tidak ada pengetahuan masuk ke dalam lingkungan ini. hanya suku baduy luar yang sedikit dapat menerima pengaruh dari luar. Dalam hal perkawinan pun tidak ada kebebasan di dalam suku ini, Pasangan yang akan menikah selalu dijodohkan dan tidak ada yang namanya pacaran. Dalam suku ini tidak mengenal poligami dan perceraian, sehingga diperbolehkan menikah kembali hanya apabila salah satu pasangannya ada yang meninggal.Hukum adat masih sangat kuat mereka pakai dan masih sangat menghormati puun atau ketua adat. Suku Baduy memiliki tata pemerintahan sendiri dengan kepala suku sebagai pemimpinnya yang disebut Puun berjumlah tiga orang. Pelaksanaan pemerintahan adat kepuunan dilaksanakan oleh jaro yang dibagi kedalam 4 jabatan yang setiap jaro memiliki fungsi dan tugasnya masing-masing. Yaitu jaro tangtu, jaro dangka, jaro tanggungan, dan jaro pamarentah. Jaro tangtu bertanggung jawab pada pelaksanaan hukum adat pada warga tangtu dan berbagai macam urusan lainnya. Jaro dangka bertugas menjaga, mengurus, dan memelihara tanah titipan leluhur yang ada di dalam dan di luar Kanekes. Jaro dangka berjumlah 9 orang, yang apabila ditambah dengan 3 orang jaro tangtu disebut sebagai jaro duabelas. Pimpinan dari jaro duabelas ini disebut sebagai jaro tanggungan. Adapun jaro pamarentah secara adat bertugas sebagai penghubung antara masyarakat adat Kanekes dengan pemerintah nasional, yang dalam tugasnya dibantu oleh pangiwa, carik, dan kokolot lembur atau tetua kampung.
DAFTAR PUSTAKA