BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap aspek perkembangan manusia saling berkaitan antara satu dengan lainnya. Apabila satu aspek perkembangan mengalami masalah atau gangguan maka ada kemungkinan aspek perkembangan lainnya pun akan terpengaruh dan bisa membuat perkembangan secara umum menjadi tidak optimal. Pada anak usia dini ini kita dapat menemukan, anak yang memiliki gangguan tertentu yang dapat menghambatnya berkembang secara optimal. Di lembaga PAUD dapat ditemui anak yang memiliki motorik yang baik, aktif bergerak dan tampak ceria. Namun tidak jarang kita juga melihat anak yang tampak lemah, memiliki keseimbangan buruk, koordinasi motorik yang tidak sempurna yang berbeda dengan anak lainnya.
Anak usia prasekolah yaitu sekitar 3 hingga 6 tahun, berada pada masa yang sangat khusus atau sering disebut sebagai masa kritis karena pada masa ini seorang anak mulai membangun rasa percaya terhadap dunia lain di sekitarnya selain lingkungan keluarga. Mereka mulai belajar untuk tidak tergantung dengan orang lain dan membangun kontrol diri, serta belajar mengambil inisiatif dan secara aktif ikut serta dalam kegiatan-kegiatan yang dapat diterima secara sosial. Oleh karenanya seorang pendidik PAUD harus dapat mengidentifikasi anak yang memiliki gangguan atau masalah baik secara fisik, intelektual maupun mental sehingga dapat memberikan solusi penanganan yang tepat agar anak dapat berkembang sesuai dengan potensi perkembangannya.
Sejak saat dimulainya pembuahan atau konsepsi, hingga akhir hayatnya, manusia selalu berada dalam proses perubahan. Diawali oleh sebuah sel berkembang menjadi janin, bemafas, berjalan dan menjadi manusia yang dapat berbicara. Anak usia prasekolah yaitu sekitar 3 hingga 6 tahun, berada pada masa yang sangat khusus, karena pada masa ini seorang anak mulai membangun rasa percaya terhadap dunia lain di sekitarnya selain lingkungan keluarga. Mereka mulai belajar untuk tidak tergantung dengan orang lain dan membangun kontrol diri, serta belajar mengambil inisiatif dan secara aktif ikut serta dalam kegiatan-kegiatan yang dapat diterima secara sosial.
Bersamaan dengan semakin berkembangnya kemampuan belajar anak dalam memahami orang lain dan kemampuannya mengekspresikan ide-ide dengan lebih efektif, maka lingkungan sosialnya juga menjadi bertambah luas dan kaya. Mereka sudah dapat menggunakan kata-kata, ungkapan-ungkapan yang kompleks dan kalimat yang panjang untuk mengemukakan ide-ide dan membina komunikasi dengan orang lain. Kemampuan fisik mereka juga semakin bertambah kuat, stamina dan koordinasi semakin baik. Dengan kata lain, seluruh aspek perkembangan anak baik itu fisik, motorik, sosial emosional dan kepribadian, maupun kognitif sedang berkembang pesat.
Kemampuan-kemampuan yang telah dibahas dalam modul-modul sebelum ini secara umum hanya merujuk kepada isu-isu, topik dan proses-proses yang cenderung bersifat normal. Dengan kata lain, perkembangan yang sifatnya normatif telah dibicarakan dalam modul Psikologi Perkembangan Anak. Sementara itu perkembangan anak yang berkaitan
B. Rumusan Masalah
<![if !supportLists]>1. <![endif]>Jelaskan Hakikat dan ciri Perkembangan Anak yang Bersifat Nonnormatif !
<![if !supportLists]>2. <![endif]>Jelaskan Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Nonnormatif & Identifikasi Penanganan Anak dengan Perkembangan Nonnormatif !
<![if !supportLists]>3. <![endif]>Bagaimana Anak dengan Gangguan Fisik Anak dengan Cerebral Palsy ?
<![if !supportLists]>4. <![endif]>Jelaskan menagapa Anak yang Rentan Sakit dan apa saja penyakitnya.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Hakikat Perkembangan Anak yang Bersifat Nonnormatif
A. Pengertian
Penggunaan pendekatan perkembangan untuk melihat kelainan yang diderita oleh anak sebenarnya berlandaskan empat tema dasar atau prinsip yaitu : (1). Kelainan muncul atau terjadi hanya pada individu yang mengalami perkembangan. Tujuan atau tugas dari perkembangan di sini adalah menerangkan asal usul simtom dan penyebab dari kelainan perilaku yang muncul. Frekuensi dan pola simtom dari kelainan perilaku akan bervariasi tergantung dari penyebab yang muncul sesuai perkembangan individu. Misalnya, stres ada pada setiap tahap perkembangan dari balita hingga remaja dan juga pada lanjut usia. Penyebab munculnya stres pada anak usia sekolah biasanya ditandai dengan perilaku menarik diri dari lingkungan dan murung, bahkan sering tertutupi oleh simtom lain seperti hiperaktif, mengompol, kesulitan belajar dan bahkan kemungkinan hingga perilaku anti sosial. Saat ini stres pada anak usia sekolah bisa berakibat dengan perilaku mengakhiri hidup atau bunuh diri.
Prinsip atau tema dasar ke (2). Kelainan perkembangan atau psikopatoiogi harus dipandang dalarn kaitannya dengan perkembangan yang normal, tugas-tugas perkembangan utama dan perubahan-perubahan yang muncul sepanjang rentang kehidupan. Psikopatologi sering kali didefinisikan sebagai penyimpangan dari perilaku yang normal, karena pada hakikatnya ada pencapaian normal tertentu yang harus dapat dipenuhi oleh setiap individu pada setiap tahap usia tertentu. Isu kritis yang muncul adalah bagaimana membedakan antara "gangguan" perkembangan yang masih dapat ditolerir atau masuk dalam kategori normal dengan yang sudah memerlukan penanganan serius.
Tema dasar atau prinsip ke (3) adalah, tanda-tanda awal dari perilaku berkelainan harus dipelajari secara serius. Meskipun definisi kelainan perkembangan (psikopatologi) tidak terlalu jelas dan belum terlalu stabil pada anak-anak usia muda dibandingkan orang dewasa, namun ada perilaku yang merupakan tanda-tanda awal bagi terjadinya kelainan perilaku dan ternyata berhubungan dengan masalah serius yang muncul kemudian.
Terakhir atau yang ke (4) adalah ada beragam patokan atau karakteristik perkembangan baik yang normal maupun berkelainan. Faktor yang beragam tersebut, sebagian bersifat genetis dan sebagian lagi karena lingkungan atau pengalaman, bahkan kedua hal tersebut saling berinteraksi dan kemungkinan membuat anak mengalami perubahan dari kondisi normal menjadi mengalami kelainan atau sebaliknya dari kondisi kelainan menjadi normal.
B. Apakah yang disebut kelainan atau abnormal?
Ada beberapa pandangan yang muncul jika kita bicara mengenai apa yang disebut normal atau tidak normal, beberapa di antaranya akan dibahas di bawah ini:
1. Model Med is (Medical Model)
Para ahli yang menggunakan pendekatan ini mengasumsikan bahwa kelainan psikologis- seperti juga penyakit fisik - hidup dan menetap di dalam diri anak dan merupakan hasil dari proses-proses fisiologis atau intrapsikis. Namun pendekatan ini kurang mendapatkan tanggapan yang positif dari para ahli, karena para ahli beranggapan bahwa kelainan pada anak atau patologi yang dimaksud lebih merupakan masalah yang muncul atau berkembang dalam kehidupan. Bahkan beberapa masalah dikatakan patologis berdasarkan penilaian sosial, bukan berdasarkan hasil objektif dari tes medis.
2. Penyimpangan dari Rata-rata {Abnormality as Deviation From the Average)
Istilah "abnormal" secara harfiah berarti "terpisah atau berbeda dari yang normal", model ini mencoba melihat bahwa perilaku atau perasaan yang berbeda dari rata-rata adalah sesuatu yang abnormal. Metode ini mendefinisikan kelainan atau abnormalitas dengan menggunakan model statistik sebagai rujukannya.
3. Penyimpangan dari yang Ideal (Abnormality as Deviation from the Ideal)
Salah satu pilihan dari model statistik untuk menentukan abnormalitas adalah penyimpangan dari yang ideal. Pendekatan ini tidak melihat abnormalitas sebagai seberapa menyimpang dari rata-rata atau seberapa sehat seseorang, namun mencoba menentukan kepribadian ideal yang sehat dan menentukan bahwa penyimpangan dari hal-hal ideal yang telah ditentukan inilah yang disebut sebagai abnormal. Masalah utama dari konsep alternatif ini adalah bagaimana merumuskan kepribadian ideal yang sehat.
C. Ciri-ciri anak dengan perkembangan nonnormatif
Nonnormatif adalah suatu keadaan yang menimbulkan dampak amat besar atau luas pada kehidupan seorang individu atau anak. Disebut berdampak besar atau luas karena kejadian tersebut memengaruhi rangkaian kehidupan yang sebetulnya sebelumnya sudah dapat diramalkan.
Secara tradisional menurut Mash dan Wolfe (2013), dapat dilihat dari adanya pola perilaku, kognitif, emosional atau simtom fisik yang diperlihatkan oleh anak. Beberapa pola tersebut berhubungan dengan satu atau lebih dari tiga ciri yang menonjol di bawah ink
<![if !supportLists]>a. <![endif]>Anak menunjukkan adanya gejala kesedihan (distress)
<![if !supportLists]>b. <![endif]>Perilaku anak menunjukkan adanya tingkat disabilitas tertentu
<![if !supportLists]>c. <![endif]>Tingkat distres atau disabilitas tersebut menimbulkan risiko penderitaan atau ancaman lebih jauh misalnya kematian, sakit, disabilitas atau kehilangan kebebasan yang penting.
2.2 Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Nonnormatif & Identifikasi Penanganan Anak dengan Perkembangan Nonnormatif
A. Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Perkembangan Nonnormatif
Perkembangan seorang anak hanya dapat dipahami dalam konteks di mana ia tinggal bersama-sama dengan orang lain di sekitarnya. Seorang anak dipengaruhi dan pada gilirannya juga memengaruhi keluarga mereka sementara anak-anak tersebut dan keluarganya juga adalah produk dari lingkungan (setting) geographis, kesejarahan, sosial dan politik di mana mereka tinggal dan tumbuh. Tidak ada seorang anak pun bahkan seorang individu yang benar-benar terisolasi dari pengaruh-pengaruh tersebut. Proses perkembangan melibatkan interaksi antara anak dengan lingkungannya, anak memengaruhi semua yang berada di sekelilingnya, termasuk kedua orang tua mereka. Papalia dan Feldman (2012), mengemukakan bahwa persamaan dan perbedaan seorang anak dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu faktor normatif dan nonnormatif. Faktor normatif adalah kejadian biologis dan lingkungan yang secara umum memengaruhi kebanyakan atau sebagian besar orang dalam masyarakat. Kelainan yang muncul pada seorang anak berkaitan erat dengan faktor-faktor yang memengaruhi perkembangan mereka. Faktor-faktor tersebut di antaranya adalah :
1. Cetak Biru Biologis (Biological Birthright)
Dalam sel tubuh manusia terdapat 46 kromosom yang terbentuk menjadi 23 pasang struktur yang di dalamnya mengandung gen. 23 kromosom berasal dari sperma ayah dan 23 lainnya dari sel telur ibu, bersatu bersama-sama membentuk sel pertama dari bayi. Kode genetik bayi yang bersifat personal yang dapat "dibaca" melalui contoh darah. Kode genetik ini sangat unik, sehingga tidak ada satu pun orang yang memiliki kode genetik sama, seperti halnya sidikjari. Banyak karakteristik yang sifatnya bawaan seperti misalnya warna rambut. Warna rambut hingga saat ini adalah merupakan contoh karakteristik bawaan yang murni, tidak ada yang dapat kita lakukan selama ataupun setelah kelahiran untuk memengaruhi warna alami dari rambut bayi.
2. Genetik atau Lingkungan
Faktor genetik adalah bawaan lahir Ciri-ciri bawaan yang berasal dari kedua orang tua, sedangkan faktor lingkungan adalah dunia Ji luar diri mdividu, dimulai saat dalam kandungan, dan pembelajaran yang diperoleh dari pengalaman. Dari semua area dimana pengaruh genetik dan lingkungan saling berinteraksi mempengaruhi seorang anak, maka ada dua aspek yang mengundang perbedaan pendapat paling kontroversial yaitu berkaitan dengan perbedaan jender yaitu perbedaan antara laki-laki dan perempuan;, dan yang kedua adalah berkaitan dengan peranan, sifat-sifat serta asal-usul inteligensi. Perbedaan muncul dalam kaitan mana yang pada awalnya dipengaruhi oleh faktor bavvaan dan mana yang secara prinsip dipengaruhi oleh lingkungan sosial.
a. Perbedaan jender
Hal mendasar lain yang dapat menjadi contoh bagus untuk memahami bahwa perbedaan dalam perilaku dan menentukan pilihan mana yang lebih disukai antara kedua jenis kelamin juga berakar pada dasar-dasar biologis. Dikatakan bahwa perempuan akan menjadi perempuan dan laki-laki akan menjadi laki-laki karena memang seharusnya demikian. Orang tua dan lingkungan mengharapkan agar anak-anak berperilaku sesuai dengan stereotipi jenis kelamin mereka dan, kemudian secara utnum anak-anak mematuhi hal tersebut.
b. Inteligensi
Pembahasan mengenai inteligensi, seperti juga stereotipi jender, dengan segera secara langsung menimbulkan prasangka dan kesalahan pemahaman, menimbulkan diskusi cukup sengit di kalangan akademisi. Menurut Lansdown dan walker (1996) pada tahun 1921 ada empat belas orang psikolog memberikan sumbangan dalam sebuah simposium dengan topik inteligensi, dan juga berakhir dengan empat belas buah definisi. Beberapa di antaranya adalah :
<![if !supportLists]>1) <![endif]>Kemampuan untuk membina hubungan.
<![if !supportLists]>2) <![endif]>Kemampuan membedakan (menurut Cicero).
<![if !supportLists]>3) <![endif]>Kapasitas global dari individu untuk berperilaku secara tepat, berpikir rasional dan berhadapan dengan lingkungan secara efektif.
<![if !supportLists]>4) <![endif]>Atensi, penyesuaian diri dan kapasitas belajar.
3. Konteks Sosial
a. Keluarga
Berkaitan dengan kuatnya dan keluasan pengaruh, maka tidak ada konteks yang memberikan pengaruh sedemikian besar kecuali keluarga. Keluarga adalah konteks pertama yang memperkenalkan anak kepada dunia secara fisik melalui kegiatan bermain dan menjelajah obyek-obyek yang berada di sekitamya. Juga menciptakan ikatan yang khas di antara orang-orang yang berada di sekitar anak. Kelekatan dengan orang tua dan saudara kandung biasanya berjalan sepanjang kehidupan dan menjadi model saat membina hubungan dalam dunia yang lebih luas seperti tetangga, sekolah dan masyarakat di sekitar tempat kita tinggal.
Penelitian-penelitian mutakhir memandang keluarga sebagai suatu jejaring dari hubungan yang saling memiliki ketergantungan satu sama lain (interdependent). Bronfenbrenner menyebutnya sebagai suatu sistem yang memiliki pengaruh bidirectional (bidirectional influences), artinya perilaku atau respons dari setiap anggota keluarga dipengaruhi dan saling memengaruhi anggota keluarga yang lainnya.pengaruh-pengaruh tersebut dapat bersifat langsung maupun tidak langsung .
<![if !supportLists]>1.) <![endif]>Pengaruh yang bersifat langsung (direct influences)
<![if !supportLists]>2.) <![endif]>Pengamh yang bersifat tidak langsung
b. Status sosial ekonomi danfungsi keluarga
Para peneliti menempatkan kedudukan keluarga seseorang dalam rentang tersebut berdasarkan suatu indeks yang disebut status sosial ekonomi atau yang sering disingkat dengan SES. Indeks tersebut merupakan kombinasi dari tiga variabel yang saling berhubungan satu sama lain namun tidak saling tumpang tindih sepenuhnya. Variabel-variabel tersebut adalah sebagai berikut: (1) tingkat pendidikan dan (2) kedudukan atau keterampilan dalam pekerjaan, dirnana kedua ha! ini mengukur status sosial; dan (3) pendapatan, yang bertujuan mengukur status ekonomi. Dalam kenyataannya status sosial ekonomi ini dapat naik dan turun, yang pada gilirannya tentu saja perubahari-perubahan ini juga memengaruhi fungsi keluarga.
c. Kemiskinan
Kemiskinan membuat kesehatan fisik memburuk, kemampuan kognitif atau kecerdasan berkurang atau tidak berkembang optimal, kemampuan akademis menurun, putus-sekolah, gangguan jiwa dan meningka.nya perilaku anti sosial atau kenakalan. (Poulton dkk., 2000; Secombe, 2002; dalam Berk, 2005). Selain anak maka stres yang muncul secara terus menerus akibat kemiskinan ini membuat orang tua menjadi depresi, mudah marah, mudah tersinggung dan pada akhirnya akan mengganggu perkembangan anak.
d. Perbedaan Budaya
Bila kita cermati, maka di seluruh dunia ini amat banyak perbedaan-perbedaan yang dapat kita amati, mengenai bagaimana cara-cara setiap budaya memperlakukan bayi-bayi yang baru lahir.
Hampir semua bangsa, melalui sistem pendidikan di sekolah, secara disadari maupun tidak cenderung menekan anak-anak, agar mereka mematuhi nilai-nilai budaya yang berkembang dalam masyarakatnya. Bila mereka tidak patuh pada nilai-nilai tersebut, maka hukuman atau "label" tertentu akan diberikan pada anak tersebut.
Penelitian yang panjang dilakukan oleh banyak peneliti untuk melihat faktor-faktor apa yang dapat melindungi seorang anak dari kerusakan yang ditimbulkan sebagai akibat dari lingkungan yang penuh dengan tekanan. Ditemukan adanya empat faktor utama, yaitu:
1) Karakteristik Pribadi (Persona! characteristics)
2. Pengasuhan yang Penuh Kehangatan
3. Dukungan Sosial di luar Keluarga Inti
4. Masyarakat yang Peduli
B. Cara Identifikasi Dan Penanganan
1. Wawancara
Cara identifikasi paling sering dilakukan untuk mendapatkan data apakah seorang anak berada dalam perkembangan nonormatif atau normatif biasnya dilakukan melalui wawancara. Wawancara dapat ditujukan kepada anak yang bersangkutan (bila sudah dapat mengemukakan ide-idenya dengan jelas), orang tua, pengasuh atau orang-orang lain di sekitar anak yang memiliki makna baginya.
2. Kuesioner
Menyusun item untuk membuat kuesioner haruslah cermat dan berdasarkan landasan teori yang jelas. Bila item yang di adaptasi berasal dari budaya yang berbeda, maka adaptasi harus memiliki validitas dan reliabilitas yang baik. Kuesioner ini dapat diisi langsung oleh orang tua, ataupun ditanya oleh pihak yang berkepentingan.
3. Observasi
Observasi adalah mengamati perilaku yang menjadi target. Patut diingat bahwa yang akan dicatat adalah perilaku, sehingga hindari memberi kesimpulan atau interpretasi dari perilaku yang akan diamati. Melalui wawancara dan pembuatan kuesioner diharapkan dapat diperoleh informasi yang berkaitan dengan sejarah perkembangan anak dan latar belakang keluarganya.
2.3 Anak dengan Gangguan Fisik Anak dengan Cerebral Palsy
Pada masa perkembangan, ada: beberapa gangguan fisik yang cukup serius sehingga perlu diperhatikan lebih lanjut. Gangguan fisik tersebut adalah Cerebral palsy yang merupakan gangguan pada kemampuan motorik karena adanya kerusakan otak serta kondisi penyakit fisik lainnya yang umum ditemui pada masa perkembangan anak.
A. Batasan cerebral palsy
Menurut Martin (dalam Hallahan, Kauffman & Pullen, 2009), cerebral palsy adalah gangguan pada gerakan dan postur tubuh yang disebabkan oleh kerusakan otak yang dapat terjadi pada saat proses kelahiran maupun saat anak berada pada usia tertentu (setelah lahir). Kerusakan otak yang terjadi menyebabkan otak tidak mampu mengendalikan otot tubuh dengan baik. Karena kerusakan otak ini maka anak yang mengalami cerebral palsy mengalami kesulitan dalam kemampuan motorik dasar seperti merangkak, duduk tegak tanpa dibantu atau berjalan.
Untuk tujuan praktis, cerebral palsy dapat dianggap sebagai suatu sindroma yang termasuk di dalamnya adalah adanya disfungsi motorik, disfungsi psikologis, kejang, dan gangguan psikologis maupun perilaku yang disebabkan oleh kerusakan otak (Pellegrino dalam Hallahan, Kauffman & Pullen, 2009). Kondisi cerebral palsy ini juga meliputi adanya kelumpuhan, tubuh atau otot yang lemah, koordinasi motorik yang kurang baik dan/atau disfungsi motorik lain karena kerusakan otak yang terjadi saat perkembangan otak belum mencapai kematangan.
Cerebral palsy sendiri dapat disebabkan oleh beragam hal (Hallahan, Kauffman & Pullen, 2009). Kerusakan otak yang menyebabkan cerebral palsy dapat terjadi pada masa kehamilan, saat proses kelahiran atau pada masa perkembangan anak. Secara umum, kondisi yang menyebabkan kurangnya pasokan oksigen ke otak, keracunan, pendarahan otak atau trauma pada otak dapat menyebabkan cerebral palsy.
B. Tipe-Tipe Cerebral Palsy
Penggolongan tipe cerebral palsy biasanya dikaitkan dengan anggota gerak yang mengalami masalah dan jenis hendaya motorik. Pada tipe cerebral palsy yang berkaitan dengan anggota gerak tubuh yaitu kaki dan tangan, penggolongannya adalah sebagai berikut (Hallahan, Kauffman & Pullen, 2009; www.cerebralpalsy.org.au):
<![if !supportLists]>1. <![endif]>Quadriplegia: gangguan terjadi pada keempat anggota gerak tubuh yaitu kedua belah kaki dan tangan.
<![if !supportLists]>2. <![endif]>Paraplegia: gangguan terjadi pada kedua belah kaki
<![if !supportLists]>3. <![endif]>Diplegia: gangguan terjadi terutama pada anggota tubuh bagian bawah yaitu kedua belah kaki namun tangan juga tidak dapat berfungsi dengan cukup baik
<![if !supportLists]>4. <![endif]>Hemiplegia: gangguan terjadi pada kaki dan tangan, namun hanya pada satu sisi tubuh saja (misalnya kaki dan tangan kiri saja)
<![if !supportLists]>5. <![endif]>Monoplegia: gangguan terjadi hanya pada satu anggota gerak tubuh saja (misalnya hanya pada tangan kanan)
Selain berdasarkan anggota gerak tubuh yang mengalami gangguan atau kerusakan, tipe cerebral palsy juga dapat digolongkan berdasarkan tipe gerakan (Hallahan, Kauffman & Pullen, 2009; Stieler dalam Mangunsong, 2014; Berker & Yalcin, 2005; Campbell, Hoon & Johnston, 2008; www.cerebralpalsv.Qra;), yaitu:
<![if !supportLists]>1. <![endif]>Spasticity
<![if !supportLists]>2. <![endif]>Athethosis.
<![if !supportLists]>3. <![endif]>Ataxia.
<![if !supportLists]>4. <![endif]>Atonic
<![if !supportLists]>5. <![endif]>Kombinasi.
C. Karakteristik anak dengan cerebral palsy
Cerebral palsy dapat mempengaruhi berbagai aspek perkembangan anak, hal ini terutama terjadi karena akibat adanya kerusakan otak yang juga sering kali mempengaruhi kemampuan anak lainnya. Menurut Hallahan, Kauffman dan Pullen (2009), kerusakan otak juga dapat mempengaruhi kemampuan inderawi, fungsi kognitif dan responsivitas emosional. Masalah motorik yang merupakan gangguan utama dari kondisi cerebral palsy juga sering kali diikuti dengan beragam hambatan atau gangguan (Hallahan, Kauffman & Pullen, 2009; cerebralpalsy.org), yaitu:
<![if !supportLists]>a. <![endif]>Gangguan pendengaran.
<![if !supportLists]>b. <![endif]>Gangguan penglihatan dan persepsi.
<![if !supportLists]>c. <![endif]>Gangguan wicara.
<![if !supportLists]>d. <![endif]>Masalah emosional atau perilaku.
<![if !supportLists]>e. <![endif]>Intellectual disability atau masalah kognitif.
D. Strategi Penanganan Anak Dengan Cerebral Palsy
Penanganan anak dengan cerebral palsy akan sangat tergantung dari tipe, kondisi fisik dan gangguan yang dialaminya. Walaupun kondisi ini mertijuk pada gangguan motorik namun karena penyebab utamanya adalah ker^sakan otak maka masalah yang dialami anak akan sangat beragam dari koc^isi cerebral palsy yang sangat ringan hingga kondisi yang kompleks karena disertai juga dengan beragam gangguan perkembangan lain. Untuk mer>anganinya, orang tua dan guru perlu benar-benar memahami kondisi anaF dan mengetahui sejauh mana kemampuan anak seperti misalnya dalam ha| mobilitas, keseimbangan tubuh, kekuatan otot, koordinasi motorik, kerr»ampuan wicara, kemampuan sensorisnya dan aspek kemandirian yang djmiliki. Kerja sama dan komunikasi yang baik antara orang tua, guru, terapis dan dokter yang menangani anak akan sangat membantu semua pihak yang terjjbat dalam penanganan anak untuk dapat memahami kondisinya.
2.4 Anak yang Rentan Sakit
A. Pengertian
Pada masa early childhood dan masa kanak-kanak, penyakit yang diderita anak cenderung dialami secara singkat dan sebagian besar adalah penyakit ringan seperti misalnya flu, batuk atau sakit perut. Kemajuan di bidang kedokteran dengan temuan vaksin dan pengobatan untuk beragam penyakit membuat anak di masa ini tumbuh dengan lebih sehat. Namun demikian ada beberapa kondisi penyakit yang dapat diderita anak.
Penyakit yang diderita anak dapat digolongkan dalam dua kondisi (Papalia, Olds & Feldman, 2009; Farrel, 2002):
1. Kondisi medis akut
2. Kondisi medis kronis
B. Penyakit yang umum diderita anak:
Karakteristik anak dan penanganannya
1. Asma
Kondisi medis kronis yang umum ditemui pada masa early childhood dan masa kanak-kanak adalah asma yaitu penyakit pemapasan kronis, memiliki dasar atau disebabkan karena alergi dan tampak muncul sebagai serangan batuk, bersin dan kesulitan bernapas secara tiba-tiba (Papalia, Olds & Feldman, 2009).
2. Luka dan Kecelakaan
Luka yang terjadi karena anak mengalami kecelakaan merupakan hal yang memiliki risiko tinggi. Menurut penelitian di Amerika Serikat, kecelakaan menjadi hal yang paling tinggi dalam urutan penyebab kematian anak (Papalia, Olds & Feldman, 2009).
Dalam seting sekolah atau tempat bermain, pihak sekolah perlu memperhatikan faktor keamanan lingkungan agar anak terhindar dari luka serius. Menurut Johnson, Christie dan Yawkey (1999) ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk menjamin keamanan tempat bermain anak:
<![if !supportLists]>a. <![endif]>Menyediakan permukaan yang lembut di bawah peralatan / perangkat bermain seperti di bawah ayunan atau perosotan. Alas atau permukaan ini dapat berupa matras atau rumput dan pasir yang cukup lembut.
<![if !supportLists]>b. <![endif]>Memperhatikan agar tidak ada bagian dari alat permainan yang dapat membuat anak terjepit
<![if !supportLists]>c. <![endif]>Memperhatikan agar ruang atau sela (space) pada peralatan bermain
<![if !supportLists]>d. <![endif]>Hindari penggunaan kayu, besi atau plastik yang berat / keras. Jika ada permukaan keras, sebaiknya dilapisi dengan busa tipis sehingga aman untuk anak.
<![if !supportLists]>e. <![endif]>Menghindari adanya sudut yang tajam, paku atau sekrup yang menonjol, bilah besi atau potongan plastik yang menonjol karena dapat melukai anak.
<![if !supportLists]>f. <![endif]>Menghindari penggunaan alat bermain dari besi (misalnya perosotan dari besi)
<![if !supportLists]>g. <![endif]>Perhatikan agar penggunaan alat bermain memang sesuai dengan usia anak.
<![if !supportLists]>h. <![endif]>Saat anak bermain di playground, pastikan ada orang dewasa yang mengawasinya dan mewaspadai jika ada potensi bahaya,
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
<![if !supportLists]>v <![endif]>Ciri-ciri anak dengan perkembangan nonnormatif
Secara tradisional menurut Mash dan Wolfe (2013), dapat dilihat dari adanya pola perilaku, kognitif, emosional atau simtom fisik yang diperlihatkan oleh anak. Beberapa pola tersebut berhubungan dengan satu atau lebih dari tiga ciri yang menonjol di bawah ini :
<![if !supportLists]>a. <![endif]>Anak menunjukkan adanya gejala kesedihan (distress)
<![if !supportLists]>b. <![endif]>Perilaku anak menunjukkan adanya tingkat disabilitas tertentu
<![if !supportLists]>c. <![endif]>Tingkat distres atau disabilitas tersebut menimbulkan risiko penderitaan atau ancaman lebih jauh misalnya kematian, sakit, disabilitas atau kehilangan kebebasan yang penting.
<![if !supportLists]>v <![endif]>Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Perkembangan Nonnormatif
Faktor normatif adalah kejadian biologis dan lingkungan yang secara umum memengaruhi kebanyakan atau sebagian besar orang dalam masyarakat. Kelainan yang muncul pada seorang anak berkaitan erat dengan faktor-faktor yang memengaruhi perkembangan mereka. Faktor-faktor tersebut di antaranya adalah :
1. Cetak Biru Biologis
2. Genetik atau Lingkungan
3. Konteks Sosial
Cara Identifikasi Dan Penanganan
<![if !supportLists]>1. <![endif]>Wawancara
<![if !supportLists]>2. <![endif]>Kuesioner
<![if !supportLists]>3. <![endif]>Observasi
<![if !supportLists]>v <![endif]>Anak dengan Gangguan Fisik Anak dengan Cerebral Palsy
Pada masa perkembangan, ada: beberapa gangguan fisik yang cukup serius sehingga perlu diperhatikan lebih lanjut. Gangguan fisik tersebut adalah Cerebral palsy yang merupakan gangguan pada kemampuan motorik karena adanya kerusakan otak serta kondisi penyakit fisik lainnya yang umum ditemui pada masa perkembangan anak.
1. Batasan cerebral palsy
Cerebral palsy sendiri dapat disebabkan oleh beragam hal (Hallahan, Kauffman & Pullen, 2009). Kerusakan otak yang menyebabkan cerebral palsy dapat terjadi pada masa kehamilan, saat proses kelahiran atau pada masa perkembangan anak. Secara umum, kondisi yang menyebabkan kurangnya pasokan oksigen ke otak, keracunan, pendarahan otak atau trauma pada otak dapat menyebabkan cerebral palsy.
2. Tipe-Tipe Cerebral Palsy
<![if !supportLists]>a. <![endif]>Quadriplegia,
<![if !supportLists]>b. <![endif]>Paraplegia:
<![if !supportLists]>c. <![endif]>Diplegia:
<![if !supportLists]>d. <![endif]>Hemiplegia:
<![if !supportLists]>e. <![endif]>Monoplegia:
3. Karakteristik anak dengan cerebral palsy
1.Gangguan pendengaran. 2. Gangguan penglihatan dan persepsi. 3.Gangguan wicara. 4.Masalah emosional atau perilaku. 5.Intellectual disability atau masalah kognitif.
4. Strategi Penanganan Anak Dengan Cerebral Palsy
Untuk mennganinya, orang tua dan guru perlu benar-benar memahami kondisi anaF dan mengetahui sejauh mana kemampuan anak seperti misalnya dalam ha| mobilitas, keseimbangan tubuh, kekuatan otot, koordinasi motorik, kerr»ampuan wicara, kemampuan sensorisnya dan aspek kemandirian yang djmiliki. Kerja sama dan komunikasi yang baik antara orang tua, guru, terapis dan dokter yang menangani anak akan sangat membantu semua pihak yang terjjbat dalam penanganan anak untuk dapat memahami kondisinya.
B. Saran
Semoga makalah yang singkat ini dapat menambah wawasan bagi mahasiswa dalam penanganan anak berkebutuhan khusus.
DAFTAR PUSTAKA
<![if !supportLists]>• <![endif]>Rini Hildayani, dkk.2017. Penanganan Anak Berkebutuhan Khusus(Buku Materi Pokok PAUD 4208 Modul 1 dan 2). Universitas Terbuka.