BERGEMING MEMURTADKAN AHMADIYAH

Judul Buku : Heboh Ahmadiyah: Mengapa Ahamadiyah tidak langsung dibubarkan?
Penulis : A. Yogaswara
Penerbit : Narasi
Cetakan : I, 2008
Tebal : 104 Halaman
Peresensi : M. Asrori Ardiansyah*
Hiruk-pikuk soal ahmadiyah masih terus berlangsung. Surat Keputusan Bersama (SKB) yang dirumuskan oleh tiga menteri tak juga meredam polemik tanpa ujung soal ahmadiyah. SKB yang diharapkan dapat mengakhiri pro-kontra ajaran Mirza Ghulam Ahmad ini menjadi kontraproduktif. Para pengikut Ahmadiyah beranggapan bahwa pemerintah telah memberangus hak asasi mereka dalam menjalankan keyakinan yang mereka miliki. Namun, di lain pihak, mereka yang menolak Ahmadiyah beranggapan bahwa pemerintah tidak tegas dalam “memvonis” ajaran yang telah dinyatakan sesat oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) tersebut.
Kehadiran SKB yang tadinya diharapkan mampu mengakhiri segala polemik yang terjadi di kalangan umat Islam Indonesia tersebut ternyata masih menyisakan ketidakpuasan, baik dari penganut maupun penolak Ahmadiyah. Padahal, sebagaimana dikatakan oleh Menteri Agama, lambannya proses SKB lebih dikarenakan keinginan pemerintah untuk memberikan keputusan terbaik sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku (hal. 95).
Lambannya proses SKB juga berusaha digugat oleh penulis buku ini sebagai salah satu wujud ketidaktegasan pemerintah dalam usahanya mengakhiri polemik Ahmadiyah. Bahkan, SKB sendiri sebenarnya baru diwacanakan oleh pemerintah setelah serangkaian aksi massa yang cenderung anarkis terjadi di mana-mana. Aksi-aksi anarkis seputar Ahmadiyah ini mencapai klimaksnya pada tanggal 1 Juni 2008 di lapangan Monas.
Pada saat itu, sekelompok orang yang diidentifikasi dari kelompok Laskar Islam, sebagai bagian dari Front Pembela Islam (FPI), menyerbu apel peringatan Hari Kebangkitan Nasional yang dihadiri oleh anggota Ahmadiyah. Meski tidak ada korban jiwa, namun beberapa orang terluka karena dipukuli. Aksi ini pun dianggap mencederai kedamaian dan kerukunan beragama di negeri ini.
Terdesak oleh keadaan, pemerintah buru-buru mengeluarkan SKB bernomor 199 tahun 2008 tentang peringatan dan perintah kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat yang dikeluarkan pada 9 Juni 2008.
Namun, Isi SKB yang “remang-remang” tersebut ternyata belum dapat menyejukkan kedua belah pihak yang berkepentingan. Bahkan muncul “pertikaian” baru dari beberapa tokoh nasional menyikapi SKB tersebut. Statemen-statemen para tokoh semisal Gus Dur, Todung Mulya Lubis, Munarman, Didin Hafihuddin dan lain-lain dihadirkan secara “konfrontatif” dalam beberapa bagian buku ini.
Kontroversi Ahmadiyah
“…Aku Adam, aku Seth, aku Nuh, aku Ibrahim, aku Ishaq, aku Ismail, aku Ya’qub, aku Yusuf, aku Musa, aku Daud, aku Isa, dan aku adalah penjelmaan sempurna dari Nabi Muhammad saw…” demikian ujar Mirza sebagaimana tercatat dalam majalah bulanan Ahmadiyah, Sinar Islam, Edisi 1 Nopember 1985.
Pokok perdebatan antara pihak Ahmadiyah dan umat muslim lainnya adalah tentang posisi pencetus aliran Ahmadiyah, Mirza Ghulam Ahmad. Pihak Ahmadiyah percaya bahwa Mirza adalah nabi yang turun setelah kenabian Muhammad saw dan menerima wahyu langsung dari Allah swt. Namun bagi umat Islam yang percaya Muhammad saw adalah nabi terakhir, tentu terasa janggal keyakinan dari aliran yang muncul pertama kali di Qadian, Punjab, India ini.
Sejak kemunculannya, aliran ahmadiyah seperti tak tertahan dan terus memperoleh simpati dari penjuru dunia, termasuk di Indonesia. Ribuan bahkan jutaan orang kemudian masuk menjadi pengikutnya. Nama Mirza pun semakin harum disanjung-sanjung. Sosok Mirza semakin menjadi kontroversi, karena oleh pengikutnya, ia tak saja dianggap sebagai nabi namun juga menjadi Imam Mahdi atau bahkan al-Masih yang dijanjikan.
Inilah yang mendorong MUI, dengan tanpa ragu, melalui fatwanya memvonis kesesatan aliran Ahmadiyah. Kontroversi pun menyeruak manakala pemerintah bersikap ragu dalam mengambil tindakan. Aksi kekerasan dilancarkan sekelompok organisasi Islam terhadap warga Ahmadi. Bukannya terpuruk, Ahmadiyah justru kebanjiran simpati dari sebagian ulama dan intelektual muslim yang tak sependapat dengan pemaksaan kehendak dalam kehidupan beragama. Umat Islam di Indonesia pun terbelah menjadi dua, antara yang pro dan kontra terhadap Ahmadiyah.
Pro dan kontra yang hadir membuat pemerintah bagai dihidangi buah simalakama. Membubarkan Ahmadiyah, tentu bakal menuai kritik dari dunia internasional sebagai pelanggaran HAM dan demokrasi. Sementara membiarkan Ahmadiyah tetap menjalankan aktivitasnya bisa berujung pada gelombang protes yang semakin menjadi-jadi. Posisi pemerintah menjadi serba sulit.
Alternatif Solusi
Kontroversi Ahamadiyah tidak begitu saja hilang setelah terbitnya SKB. Umat Islam masih saja terbagi dalam dua kelompok yang bersikukuh dengan pandangannya. Adakah jalan untuk mengakhiri perbedaan ini demi menyelamatkan wajah Islam yang terancam perpecahan?
Yogaswara, penulis buku ini, bermodal kutipan saran dari Amin Jamaluddin, Yusril Ihza Mahendra dan mungkin Hasyim Muzadi, mengajak sidang pembaca untuk mengintip peristiwa yang sama di negeri Pakistan. Beberapa tahun yang lalu umat Islam di negeri itu mengalami peristiwa yang sama dengan yang terjadi di negeri ini saat ini. Gelombang aksi massa yang mengakibatkan jatuhnya korban telah memaksa pemerintah setempat untuk mengakhiri konflik dengan menerbitkan “SKB versi Pakistan” yang intinya berisi pernyataan bahwa Ahmadiyah digolongkan sebagai minoritas non-Muslim. Campur tangan pemerintah ternyata cukup efektif dalam membendung gelombang aksi anarkis terkait Ahmadiyah di negeri itu.
Sayang, Yogaswara tidak mengupas secara rigit ihwal pilihannya terhadap Pakistan sebagai salah satu negara yang dihuni oleh warga Ahmadi. Padahal, masih terdapat puluhan negara lain yang cukup sukses meredam polemik ajaran Mirza ini. Kondisi Pakistan sejak pra hingga pasca-vonis juga tidak diuraikan dalam buku ini. Padahal, sidang pembaca tentu bertanya-tanya, relakah warga Ahmadi dicerabut status Islamnya dari diri mereka? Lantas, bagaimana pula dengan simbol-simbol dan praktik ubudiyah warga Ahmadi yang bersumber dari nafas Islam pasca “pemurtadan” tersebut? Bagaimanapun, alasan utama mereka memilih Ahmadiyah adalah keyakinan hati yang dilandasi akan kebenaran Islam.
Pertanyaan-pertanyaan besar tersebut belum sepenuhnya dijawab oleh penulis buku ini. Kendati demikian, alternati solusi yang disodorkan Yogaswara di bab akhir buku ini bagaimanapun terlalu mewah untuk tidak diafirmasi. Sebab, di tengah perang argumen yang tak berujung; di saat umat Muslim telah jumud dengan pertikaian antar sekte dan aliran; dan di saat Islam bukan saja menjadi salah satu agama yang paling banyak disorot dan disalahpahami, tapi sekaligus selalu di-“kambinghitam”-kan dalam segala wacana kekerasan, gagasan (si)apa pun yang membersitkan harapan menciptakan iklim beragama yang kondusif selalu tak kehabisan makna serta pesona untuk dirayakan.
*M. Asrori Ardiansyah, Alumni Pesantren Gontor.
Sumber: www.kabar-pendidikan.blogspot.com, www.arminaperdana.blogspot.com, www.kmp-malang.com

Judul Buku : Heboh Ahmadiyah: Mengapa Ahamadiyah tidak langsung dibubarkan?
Penulis : A. Yogaswara
Penerbit : Narasi
Cetakan : I, 2008
Tebal : 104 Halaman
Peresensi : M. Asrori Ardiansyah*
Hiruk-pikuk soal ahmadiyah masih terus berlangsung. Surat Keputusan Bersama (SKB) yang dirumuskan oleh tiga menteri tak juga meredam polemik tanpa ujung soal ahmadiyah. SKB yang diharapkan dapat mengakhiri pro-kontra ajaran Mirza Ghulam Ahmad ini menjadi kontraproduktif. Para pengikut Ahmadiyah beranggapan bahwa pemerintah telah memberangus hak asasi mereka dalam menjalankan keyakinan yang mereka miliki. Namun, di lain pihak, mereka yang menolak Ahmadiyah beranggapan bahwa pemerintah tidak tegas dalam “memvonis” ajaran yang telah dinyatakan sesat oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) tersebut.
Kehadiran SKB yang tadinya diharapkan mampu mengakhiri segala polemik yang terjadi di kalangan umat Islam Indonesia tersebut ternyata masih menyisakan ketidakpuasan, baik dari penganut maupun penolak Ahmadiyah. Padahal, sebagaimana dikatakan oleh Menteri Agama, lambannya proses SKB lebih dikarenakan keinginan pemerintah untuk memberikan keputusan terbaik sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku (hal. 95).
Lambannya proses SKB juga berusaha digugat oleh penulis buku ini sebagai salah satu wujud ketidaktegasan pemerintah dalam usahanya mengakhiri polemik Ahmadiyah. Bahkan, SKB sendiri sebenarnya baru diwacanakan oleh pemerintah setelah serangkaian aksi massa yang cenderung anarkis terjadi di mana-mana. Aksi-aksi anarkis seputar Ahmadiyah ini mencapai klimaksnya pada tanggal 1 Juni 2008 di lapangan Monas.
Pada saat itu, sekelompok orang yang diidentifikasi dari kelompok Laskar Islam, sebagai bagian dari Front Pembela Islam (FPI), menyerbu apel peringatan Hari Kebangkitan Nasional yang dihadiri oleh anggota Ahmadiyah. Meski tidak ada korban jiwa, namun beberapa orang terluka karena dipukuli. Aksi ini pun dianggap mencederai kedamaian dan kerukunan beragama di negeri ini.
Terdesak oleh keadaan, pemerintah buru-buru mengeluarkan SKB bernomor 199 tahun 2008 tentang peringatan dan perintah kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat yang dikeluarkan pada 9 Juni 2008.
Namun, Isi SKB yang “remang-remang” tersebut ternyata belum dapat menyejukkan kedua belah pihak yang berkepentingan. Bahkan muncul “pertikaian” baru dari beberapa tokoh nasional menyikapi SKB tersebut. Statemen-statemen para tokoh semisal Gus Dur, Todung Mulya Lubis, Munarman, Didin Hafihuddin dan lain-lain dihadirkan secara “konfrontatif” dalam beberapa bagian buku ini.
Kontroversi Ahmadiyah
“…Aku Adam, aku Seth, aku Nuh, aku Ibrahim, aku Ishaq, aku Ismail, aku Ya’qub, aku Yusuf, aku Musa, aku Daud, aku Isa, dan aku adalah penjelmaan sempurna dari Nabi Muhammad saw…” demikian ujar Mirza sebagaimana tercatat dalam majalah bulanan Ahmadiyah, Sinar Islam, Edisi 1 Nopember 1985.
Pokok perdebatan antara pihak Ahmadiyah dan umat muslim lainnya adalah tentang posisi pencetus aliran Ahmadiyah, Mirza Ghulam Ahmad. Pihak Ahmadiyah percaya bahwa Mirza adalah nabi yang turun setelah kenabian Muhammad saw dan menerima wahyu langsung dari Allah swt. Namun bagi umat Islam yang percaya Muhammad saw adalah nabi terakhir, tentu terasa janggal keyakinan dari aliran yang muncul pertama kali di Qadian, Punjab, India ini.
Sejak kemunculannya, aliran ahmadiyah seperti tak tertahan dan terus memperoleh simpati dari penjuru dunia, termasuk di Indonesia. Ribuan bahkan jutaan orang kemudian masuk menjadi pengikutnya. Nama Mirza pun semakin harum disanjung-sanjung. Sosok Mirza semakin menjadi kontroversi, karena oleh pengikutnya, ia tak saja dianggap sebagai nabi namun juga menjadi Imam Mahdi atau bahkan al-Masih yang dijanjikan.
Inilah yang mendorong MUI, dengan tanpa ragu, melalui fatwanya memvonis kesesatan aliran Ahmadiyah. Kontroversi pun menyeruak manakala pemerintah bersikap ragu dalam mengambil tindakan. Aksi kekerasan dilancarkan sekelompok organisasi Islam terhadap warga Ahmadi. Bukannya terpuruk, Ahmadiyah justru kebanjiran simpati dari sebagian ulama dan intelektual muslim yang tak sependapat dengan pemaksaan kehendak dalam kehidupan beragama. Umat Islam di Indonesia pun terbelah menjadi dua, antara yang pro dan kontra terhadap Ahmadiyah.
Pro dan kontra yang hadir membuat pemerintah bagai dihidangi buah simalakama. Membubarkan Ahmadiyah, tentu bakal menuai kritik dari dunia internasional sebagai pelanggaran HAM dan demokrasi. Sementara membiarkan Ahmadiyah tetap menjalankan aktivitasnya bisa berujung pada gelombang protes yang semakin menjadi-jadi. Posisi pemerintah menjadi serba sulit.
Alternatif Solusi
Kontroversi Ahamadiyah tidak begitu saja hilang setelah terbitnya SKB. Umat Islam masih saja terbagi dalam dua kelompok yang bersikukuh dengan pandangannya. Adakah jalan untuk mengakhiri perbedaan ini demi menyelamatkan wajah Islam yang terancam perpecahan?
Yogaswara, penulis buku ini, bermodal kutipan saran dari Amin Jamaluddin, Yusril Ihza Mahendra dan mungkin Hasyim Muzadi, mengajak sidang pembaca untuk mengintip peristiwa yang sama di negeri Pakistan. Beberapa tahun yang lalu umat Islam di negeri itu mengalami peristiwa yang sama dengan yang terjadi di negeri ini saat ini. Gelombang aksi massa yang mengakibatkan jatuhnya korban telah memaksa pemerintah setempat untuk mengakhiri konflik dengan menerbitkan “SKB versi Pakistan” yang intinya berisi pernyataan bahwa Ahmadiyah digolongkan sebagai minoritas non-Muslim. Campur tangan pemerintah ternyata cukup efektif dalam membendung gelombang aksi anarkis terkait Ahmadiyah di negeri itu.
Sayang, Yogaswara tidak mengupas secara rigit ihwal pilihannya terhadap Pakistan sebagai salah satu negara yang dihuni oleh warga Ahmadi. Padahal, masih terdapat puluhan negara lain yang cukup sukses meredam polemik ajaran Mirza ini. Kondisi Pakistan sejak pra hingga pasca-vonis juga tidak diuraikan dalam buku ini. Padahal, sidang pembaca tentu bertanya-tanya, relakah warga Ahmadi dicerabut status Islamnya dari diri mereka? Lantas, bagaimana pula dengan simbol-simbol dan praktik ubudiyah warga Ahmadi yang bersumber dari nafas Islam pasca “pemurtadan” tersebut? Bagaimanapun, alasan utama mereka memilih Ahmadiyah adalah keyakinan hati yang dilandasi akan kebenaran Islam.
Pertanyaan-pertanyaan besar tersebut belum sepenuhnya dijawab oleh penulis buku ini. Kendati demikian, alternati solusi yang disodorkan Yogaswara di bab akhir buku ini bagaimanapun terlalu mewah untuk tidak diafirmasi. Sebab, di tengah perang argumen yang tak berujung; di saat umat Muslim telah jumud dengan pertikaian antar sekte dan aliran; dan di saat Islam bukan saja menjadi salah satu agama yang paling banyak disorot dan disalahpahami, tapi sekaligus selalu di-“kambinghitam”-kan dalam segala wacana kekerasan, gagasan (si)apa pun yang membersitkan harapan menciptakan iklim beragama yang kondusif selalu tak kehabisan makna serta pesona untuk dirayakan.
*M. Asrori Ardiansyah, Alumni Pesantren Gontor.
Sumber: www.kabar-pendidikan.blogspot.com, www.arminaperdana.blogspot.com, www.kmp-malang.com